Kamis, 03 Desember 2009

Islam Kaffah dan Kekafiran * Juli 22, 2009 – 5:07 pm * Ditulis dalam Memoar Kang Jan

Ada yang lain dari Kang Jan hari ini. Tidak seperti kebiasaannya tidur selepas subuh, pagi ini ia langsung mandi lalu berpakaian rapi. Wewangian pun ia pakai. Sungguh tak biasa. wewangian itu seperti barang kramat bagi Kang Jan, ia hanya menggunakannya pada hari-hari tertentu saja, seperti saat shalat Jum’at atau shalat idul fitri. Istrinya yang tikdak mendapat pemberitahuan soal rencana Kang Jan hari ini pun dibuat keherananan. Bagaimana tidak, tadi Malam Kang Jan tetap memabuka angkringan sampai Jam 2 dan pagi ini dia tidak tidur lagi. Biasanya selepas subuh Kang Jan langsung molor menikmati kasur. Ia tidur sampai jam 8 pagi lalu berangkat ke pasar membeli kebutuhan angkringan.

Tapi pagi ini sungguh berbeda. Tak hanya menggunakan minyak wangi, Kang Jan juga menggunakan batik pamungkasnya. Setelan batik buatan Istri ini bukan batik sembarangan. Dalam setahun belumlah pasti satu kali ia gunakan. Pemberian istri merupakan salah satu barang keramat. Bukan soal bagusnya atau buruknya batik itu, tapi soal penghargaan kepada istrinya. Biasanya Kang Jan hanya menggunakan batik itu saat bepergian bersama istri tercinta. Maklum, meskipun Kang Jan sedikit galak ia terkenal sangat sayang pada istrinya. Di kampung itu nyaris tak ada laki-laki yang mau bekerja di dapur membantu istri selain Kang Jan. Bahkan Pak Kaji soleh yang terkenal paling soleh di kampung karena kedermawanannya saja tidak pernah mau masuk dapur. “itu tugas perempuan, ” tegas Pak Soleh ketika suatu waktu ditanyai tetangga.

“Mau kemana tho, Kang? Kok ndak kayak biasanya pagi-pagi sudah rapi, pakai wewangian dan batik lagi?”, karena sangat bingung Istri Kang Jan akhirnya memberanikan bertanya pada suaminya.

“Ini lho, Bune, aku janjian sama Siwa dan Guntur untuk lihat grebeg syuro. Ini kan satu syura,” Kang Jan menjelaskan.
“Boleh tho, Bune aku pakai batik ini?” lanjutnya.

“Yo ndak opo to Kang. La wong batik itu saya jahitkan yo buat sampean pakai. Bukan pajangan. Kulo langkung remen yen diagem kaleh Panjenengan,” balas si istri dengan senyum yang dalam. Kang Jan tersenyum simpul penuh kebahagiaan menyaksikan ekspresi instrinya. “Bune, aku tolong dibuatkan kopi yo!” pinta Kang Jan.

******

“Bune, aku berangkat,” suara Kang Jan menyeloroh ke dalam rumah setelah menghabiskan secangkir kopi pahit kesukaannya.
Berkendara sepeda unta tahun 70-an yang dibeli di pasar loak Kang Jan menuju rumah Siwa. Mereka bertiga telah membuat janji pertemuan di rumah Siwa sebelum berangkat ke Grebeg Syuro. Rumah Siwa memang letaknya paling strategis tinimbang milik Kang Jan atau Guntur. Rumah Siwa berada di pinggir jalan beraspal, jadi mudah bagi mereka untuk mencari angkutan menuju lokasi perhelatan.

Sesampai di sana Guntur ternyata sudah terlebih dahulu sampai. Ia sudah duduk-duduk dengan Siwa menghadap sepasang cangkir kopi yang sudah habis lebih dari setengah.

“Hayo, langsung berangkat!” pinta Kang Jan sambil memarkir sepeda di pekarangan Siwa.
“Lho, langsungan tho, Kang?” timpal Guntur.

“Lebih baik kepagian dari pada kelewatan acaranya” balasa Kang Jan.
“Sampean ndak pengen ngopi dulu, Kang? Tambah Siwa.

“Ora, Aku Wis ngopi Mau”, timpal Kang Jansambil berlalu. Siwa dan Guntur beranjak dari kursi bambu menghampiri Kang Jan yang sudah berjalan menuju jalan raya.

******

Pagi ini suasana terasa berbeda. Angkutan Jalur X yang biasanya sepi ternyata berulang kali lewat dalam keadaan penuh.
“walah, ini baru Jam setengah 7 kok sudah penuh semua” Siwa mengeluh.

“Sudahlah, sebentar lagi ada yang kosong. kalau nanti tak ada yang kosong kita naik jurusan lain terus oper bus kota sampai alun-alun” balas Kang Jan. Siwa dan Guntur hanya diam seperti setuju.

Tidak terlalu lama, sebuah angkot jalur X muncul dan masih belum terisi semuanya.Mereka bertiga saling melempar senyum lega. Di dalam angkot ternyata ada beberapa orang yang juga berpakaian rapi. Ada yang memakai batik dan kopiah, ada juga yang berkemeja biasa, tapi semuanya rapi. Kang Jan melempar senyum ke beberapa orang yang telah terlebih dahulu berada di angkot.

Tak lupa kang Jan membaca basmalah saat mau duduk di jok angkot. Bacaan itu menarik perhatian seorang laki-laki yang kira-kira berusia 25 tahun. lelaki itu berjenggot agak panjang. Pakaiannya rapi. Kopiah putih bersih menutup kepalanya yang berambut pendek.

“Mau ke mana, Pak?” tanya pemuda berpakaian rapi itu kepada Kang Jan.

“ini, mau ke grebeg syuro, la adik sendiri mau ke mana?” Kang Jan membalas pertanyaan snag apemuda sambil berbasa-basi.
“Mau ke kampus Pak”, balas pemuda itu. “Memang di grebeg itu ada apa saja, Pak? Kok banyak orang yang berbondong-bondong datang ke acara itu?” tambah si pemuda.

“Ya ada macam-macam, dik. Ada doa bersama. Ada pembagian gunungan. heem, masih banyak lagi. Adik ke sana saja biar tahu kegiatan itu,” kang jan menjawab sedikit diplomatis.

“Saya merasa aneh, Pak. Acara itu diisi dengan doa ala agama Islam, sedangkan dalam agama Islam acara itukan tidak ada sama sekali. Rasul tidak pernah memberikan ajaran tentang itu. Bukankah itu bid’ah, Pak?” tanya si pemuda. Tampaknya pemuda itu berani berbicara soal agama setelah mendengar bacaan bismillah dari lisan Kang Jan saat hendak duduk di angkot.
“Lalu apa yang salah, dik?” Pancing Kang Jan.

“Ya itu, Pak. Sesuatu yang dikerjakan tanpa ada rujukan dari agama itu sendiri, itu yang salah. Setahu saya itu bertentangan dengan syari’at agama. Tapi kenapa orang-orang yang beragama Islam justeru menjadi penyelenggaranya”. Eskpresi pemuda itu sangat serius. Ia seperti sedang berhadapan dengan mangsa yang memang harus ditobatkan.

“Itu gejala menurunnya keislaman kita. Sebuah gejala bahwa banyak muslim tidak mengimani Islam secara Kaffah,” tandas pemuda itu penuh tenaga.

Siwa dan Guntur tak banyak berkutik kalau berhadapan dengan situasi seperti ini. bukan karena mereka bodoh, bukan sama sekali. Siwa dan Guntur keduanya lebih sering mengalah dalam situasi seperti ini. Berbeda dengan Kang Jan yang pasti akan berupaya menyelesaikan obrolan sampai tuntas.

“Islam yang benar itu bagaimana, dik?” tanya kang Jan.

“Ya sederhana, Pak. Islam yang asli dikerjakan dan dikembangkan oleh Rasulullah SAW. Itu saja kuncinya”. Pemuda itu menjawab dengan sangat mantap.

“Dik,” suara Kang Jan meninggi meski tetap dengan eskpresi wajah yang datar. “Saya ini orang Kafir, jadi jangan terlalu menceramahi saya tentang Islam,” jawab Kang Jan.

Sekonyong-konyong raut wajah pemuda itu berubah. Ia tidak menyangka berbicara terlalu banyak dengan orang yang berlainan keyakinan. Muncul dugaan dalam diri pemuda itu bahwa orang yang diajak bicara bukanlah seseorang yang beragama Islam. Tapi Jawaban Kang Jan belum tuntas ternyata.

“Tapi saya ini bukan musyrik, tambah Kang Jan.

Pemuda itu tampak kebingungan. Ia merasa dihadapkan pada pernyataan yang kontradiktif.

“Bagaimana mungkin Anda merasa sebagi kafir tetapi juga merasa bukan musyrik?” tanya pemuda itu dengan nada bingung.
Siwa dan Guntur keduanya hanya tersenyum menahan tawa. Mereka tahu persis watak Kang Jan dan caranya masuk ke dalam sebuah obrolan serius.

“Saya merasa sebagai kafir karena kerendahan hati saya selalu aja mengajarkan saya menyadari bahwa iman saya belum sempurna, dik. Karena itu saya berusaha selalu menyempurnakannya. Saya punya iman yang tidak sesempurna iman adik yang sudah sempurna. Karena itu saya belum bisa mengaku sebagai Muslim yang baik. Saya takut jika ternyata saya secara tidak disadari adalah orang yang tidak beriman.” balas Kang Jan agak Panjang.

“Bukankah kafir itu berarti ingkar Tuhan?” balas pemuda agak gugup. Ia mulai menyadari bobot ilmu orang yang diajak bicara.

“Tidak semudah itu menjadi kafir dan tidak mudah pula menjadi mukmin kaffah, dik. Kata kafara, asal kata kafir itu diulang-ulang dalam bentuk yang beragam dalam al-Qur’an. Jadi maknanya juga beragam. Kafir itu artinya orang yang ingkar. Ada yang menolak yakin adanya Tuhan dan keesaannya, itu hanya salah satu arti. Tapi arti yang lain bisa saja ada. Sebut saja surah Ibrahim yang menggunakan kata kafara bagi orang yang tidak mensyukuri nikmat Tuhan. Artinya belum tentu ia tidak percaya Tuhan, melainkan hanya tidak memiliki sensitivitas untuk berterima kasih kepada Tuhan soal pemberian yang berlimpah.”

Ekspresi pemuda itu serta-merta berubah. Ia baru sadar berhadapan dengan orang yang cukup memahami agama.
“Terus Pak? tanya si pemuda dengan gugup.

“Kekafiran yang paling saya takuti itu ada satu, dik. balas Kang Jan.

“Apa itu, Pak?”

“Kekafiran karena saya mencuri hak Tuhan untuk menentukan kebenaran soal siapa yang salah dan benar. Apalagi hal tersebut hanya seputar soal furu’iyyah atau sesuatu yang spesifik. Mencuri hak Tuhan untuk menentukan kebenaran sama halnya menyamakan diri dengan Tuhan yang berkuasa atas kebenaran. Saya takut jika itu terjadi pada saya, maka saya tidak hanya menjadi kafir tapi juga sekaliguis menjadi seorang musyrik yang menjadikan diri sendiri sebagai berhalanya.”

Kang Jan sangat serius menjawab hal tersebut, tampak matanya berkaca-kaca seperti menahan tangis. Memang ini hal berat untuk diungkapkan kepada khalayak, tapi kali ini Kang Jan merasa perlu.

“Soal grebeg itu furu’iyyah, dik. Itu tak perlu dipermasalahkan dengan kekentalan akidah yang sampai pada menyalahkan. ini cara orang jawa mensyukuri nikmat Tuhan. Gunungan itu hanya simbol keberlimpahan pangan yang harus disebarluaskan dan diratakan. Bukan hura-hura. Karena itu ada do’a supaya orang-orang menyadari bahwa semua itu datangny dari Tuhan. Apakah salah jika orang memilih sebuah cara bersyukur yang paling sesuai dengan kebudayaannya?”

Pemuda itu tercengang seperti sulit untuk menjawab. Tiba-tiba suara Siwa memecah suasana.

“Kang, Ayo. Sudah sampai ini,” Siwa memberitahukan Kang Jan yang tampak masih asyiok memperhatikan raut muka sanga pemuda. Ditepuknya lengan pemuda itu dengan senyum, sambil berpamitan untuk turun duluan. Tak lupa, Kang Jan melafalkan Bismillah saat beranjak dari jok angkutan kumuh itu.

Sang pemuda tetap terdiam.

Yogyakarta, 2 Januari 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Komentar

Sebuah Kebenaran Kecil

Sebuah KEBENARAN KECIL Apa yang membuat hidup sobat semua menjadi 100% jika alfabet di beri sebuah nilai mulai dengan huruf a=1, b=2, ...